http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs342.ash1/29274_1133598197522_1754329687_257618_5005312_n.jpg Proklamator Soekarno (01)
Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Nama: Ir. Soekarno
Nama Panggilan:
Bung Karno
Nama Kecil:
Kusno.
Lahir:
Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal:
Jakarta, 21 Juni 1970
Makam:
Blitar, Jawa Timur
Gelar (Pahlawan):
Proklamator
Jabatan:
Presiden RI Pertama (1945-1966)
Isteri dan Anak:
Tiga isteri delapan anak
Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh
Isteri Hartini, anak: Taufan dan Bayu
Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.
Ayah:
Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu:
Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
HIS di Surabaya (indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926
Ajaran:
Marhaenisme
Kegiatan Politik:
Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 | Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966,
menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator
yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika
Serikat dan negara kapitalis lainnya: "Go to hell with your aid.” Persetan
dengan bantuanmu.
Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu.
Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi
bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.
Tokoh pencinta seni ini memiliki slogan yang kuat menggantungkan cita-cita
setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil
makmur. Ideologi pembangunan yang dianut pria yang berasal dari keturunan
bangsawan Jawa (Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan
ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku
Pioneers in Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan
yang dilahirkan kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu
negeri harus mengemis kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya
meminta-minta bantuan asing. Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya,
apalagi sampai meminta bantuan, justru mencelakakan si melarat (negara
miskin).
Bagi Bung Karno, yang ketika kecil bernama Kusno, ini tampaknya tak ada
kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan
bantuan asing. Semua tetek bengek manajemen pembangunan yang diperbantukan
dan arus teknologi modern yang dialihkan — agar si miskin jadi kaya dan
mengejar Barat — hanyalah alat pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya
makin terbelakang.
Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan semangat revolusi dan
mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum
sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep
"berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai ke tujuan tetapi
setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Daripada
berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan
ketergantungan dan ketidakberdayaan (noekolonialisme).
Masa kecil Bung Karno sudah diisi semangat kemandirian. Ia hanya beberapa
tahun hidup bersama orang tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia
tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto,
politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere
Burger School). Saat belajar di HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa
nasio-nalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan
me-lanjutkan ke THS (Technische Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi
yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir” pada 25 Mei
1926.
Kemudian, ia merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai
Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka.
Akibatnya, Belanda, si penjajah, menjebloskannya ke penjara Sukamiskin,
Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan.
Dalam pembelaannya berjudul ‘Indonesia Menggugat’, dengan gagah berani ia
menelanjangi kebobrokan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI
pun dibubarkan. Setelah bebas (1931), Bung Karno bergabung dengan Partindo
dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, ia kembali ditangkap Belanda dan
dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke
Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, ia juga
berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi)
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan nusantara.
Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian
berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
|
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik sangat hebat. Ia pun
tak mau membubarkan PKI yang dituduh oleh mahasiswa dan TNI sebagai dalang
kekejaman pembunuh para jenderal itu. Suasana politik makin kacau.
Sehingga pada 11 Maret 1966 ia mengeluarkan surat perintah kepada Soeharto
untuk mengendalikan situasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan
Supersemar. Tapi, inilah awal kejatuh-annya. Sebab Soeharto menggunakan
Supersemar itu membubarkan PKI dan merebut simpati para politisi dan
mahasiswa serta ‘merebut’ kekuasaan. MPR mengukuhkan Supersemar itu dan
menolak pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai
Pejabat Presiden.
Kemudian Bung Karno ‘dipenjarakan’ di Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya
terus memburuk. Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal
dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di
Blitar, Jawa Timur di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka
Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi ini meninggalkan 8 orang anak. Dari
Fatmawati mendapatkan lima anak yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati,
Sukmawati, dan Guruh. Dari Hartini mendapat dua anak yaitu Taufan dan Bayu.
Sedangkan dari Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko
Nemoto mendapatkan seorang putri yaitu Kartika.
Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat
berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me
dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan
rakyat.
"Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku
berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno,
dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur
dari seorang orator besar.
Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang
kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam
gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam
autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak
terjangnya.
Ia adalah seorang cen-dekiawan yang meninggal-kan ratusan karya tulis dan
beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende,
Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan dengan judul "Diba-wah
Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik
dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.
Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang
bermula dari tahun 1926, dengan judul "Nasionalis-me, Islamisme, dan
Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai
titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya,
seorang pemuda berumur 26 tahun.
Di tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu
membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat
tertutup.
Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam
autobio-grafinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung
Lidah Rakyat itu, bercerita. "Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak
dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon
seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana
Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya,
ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon,
berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya
tertidur, maafkanlah.... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan
obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”
Dalam bagian lain disebutkan, "Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan
presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil...
Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu... Mereka
turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”
Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di
depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman
pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang
kolonialisme.
"Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat
kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke
generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai.
Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di
Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum
bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno ketika itu.
Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan
imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat
sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS).
Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno
yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933,
semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas
dikedepankannya.
Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang
dilakukan negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal
yang berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.
Soekarno dan para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di
antara "kata” dan "fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak
mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.
Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya
menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan
yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta.
Begitu pula gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme
marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan,
gagasannya mengenai Pancasila.
Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap
sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun
kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela
pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap
mewakili sosok politisi kaum abangan yang "kurang islami”. Mereka bahkan
menggolongkannya sebagai gembong kelompok "nasionalis sekuler”.
Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila
itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin
besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi
Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh
al-Azhar itu sebagai, "lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy
ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah
salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran
sebagai dasar bagi kaum beriman).
Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal
status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno,
"Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta
Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari
Republik yang mayoritas Muslim itu.
Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk
negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis
oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung
Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri
sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.
Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam
konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana
mungkin merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu
kalau si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di
Indonesia secara benar?
Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982):
"Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak?
Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus
Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan
semacam itu dianggap sebagai "bergaya ekspansif seolah-olah hendak
merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ
Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- "hanya
merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat
Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu
justru "merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang
mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.
Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya
adalah yang paling "cocok” dengan "kepribadian” dan "budaya” khas bangsa
Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan
keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam "individualisme” yang katanya
lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan
ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno
mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan
anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya,
penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik
yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan
sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme
politik. Ia mementingkan "persatuan” demi "revolusi”.
Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik
yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat
sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai
parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi,
Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga
kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah
dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem
parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet
yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat
bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan
separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia
menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan
daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena
kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat
perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan
kekuatan Islam mengenai dasar negara. ► e-ti/crs, dari berbagai sumber
***
TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|