Seni dan Budaya pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai.
Dinamika Hidup Yang Penuh Tantangan dan Tuntutan ditengah Era Informasi dan Teknologi, Perkembangan dan Modernisasi Disitulah Manusia dituntut Untuk Menyikapi dan Mensiasatinya
Ajang Menunjukan Gigi karena Gigi Adalah Lambang Tertawa atau pun tersenyum. Guyonan , Humor. Lawak konsumsi yg bikin sehat Pak Jasman dan Pak Rohan...
lmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia [1]. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.[2] Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan
Kehidupan Bathin dan Hubungan antara manusia dengan Tuhannya, Seringkali Fenomena Perbedaan Menjadikan pertentangan. Diharapkan Manusia mulai mencari persamaan walaupun adanya perbedaan arah pikiran ataupun komunitasnya
Bahan baku pembuatan calung mempergunakan bambu. Bambu yang biasa
dipergunakan untuk membuat calung adalah bambu wulung atau dikenal nama
awi wulung yang berwarna hitam atau putih.
Berdasarkan modelnya, calung memiliki ragam bentuk dan jenisnya,
diantaranya : Calung Rantay, Gambang Calung, Gamelan Calung dan Calung
Jingjing yang saat ini banyak dikenal oleh masyarakat dengan nama Calung
saja.
Perangkat calung jingjing dalam bahasan Sarasehan Seni Calung Jawa
Barat yang diselenggarakan pada tahun 80-an terdiri dari: Calung Melodi
disebut "kingking”, Calung Angkob Panyemen disebut "panempas”, Calung
Pangiring disebut "Jongjrong”, Calung Kolotomik disebut "Gonggong” dan
Kosrek atau Kolotok yang merupakan alat tambahan. Semua waditra diatas
merupakan satu kesatuan dalam seni pertunjukan Calung.
Teknik baku atau dasar membunyikan Calung adalah dipukul dengan
mempergunakan alat pukul (ditakol). Tangan kiri memegang sematnya dan
tangan kanan memukul batang-batang calung sesuai dengan nada yang
diinginkan. Bagian yang dipukul adalah bidang depan (beungeut),
sedangkan yang dipukulny pas di tengah-tengah antara ujung puhu dan
lubang simpul pada bagian congo.
Ada beberapa motif pukulan dalam memainkan calung, yaitu: dimelodi,
dikeleter, dikemprang, diraeh, dicaruk, dirincik, diracek, salancar dan
dikotrek.
Oleh karena itu persiapan dalam penataan materi pertunjukan Calung
harus direncanakan sebaik-baiknya. Para pemainnya juga harus kreatif
dalam upaya meningkatkan keterampilan (skill), serta kemampuan dalam
wawasan seni pentas. Harus diperhitungkan pula dengan matang mengenai
situasi dan kondisi masyarakat yang akan dihiburnya. Hal lain yang lebih
penting selain unsur hiburan, pada dasarnya pertunjukan calung dapat
dijadikan alat komunikasi yang mengandung beberapa aspek antara lain
penerangan dan pendidikan. Sumber
Merupakan alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat dan
menjadi ciri khas budaya Sunda yang selama ini ada dan bertahan di sana,
sering kali orang menganggap sama antara Calung dengan Angklung, pada
dasarnya alat musik ini sama-sama terbuat dari bambu yang dibentuk
sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan nada-nada harmonis, bedanya
adalah pada cara memainkannya, kalau Angklung dimainkan dengan cara
digetarkan atau digoyang-goyangkan, sedangkan Calung dimainkan dengan
cara dipukul, Calung terbuat dari bambu hitam yang memang khusus
digunakan untuk membuat calung, karena suara yang dihasilkan akan lebih
baik bila menggunakan jenis bambu ini.
Beberapa bentuk calung:
1. Calung Gambang
Yang disebut Calung Gambang adalah sebuah calung yang dideretkan diikat
dengan tali tanpa menggunakan ancak/standar. Cara memainkannya sebagai
berikut: kedua ujung tali diikatkan pada sebuah pohon/tiang sedangkan
kedua tali pangkalnya diikatkan pada pinggang si penabuh. Motif pukulan
mirip memukul gambang.
2. Calung Gamelan
Calung Gamelan adalah jenis calung yang telah tergabung membentuk
ansamble. Sebutan lain dari calung ini adalah Salentrong (di Sumedang),
alatnya terdiri dari:
1. Dua perangkat calung gambang masing-masing 16 batang
2. Jengglong calung terdiri dari 6 batang
3. Sebuah gong bamboo yang biasa disebut gong bumbung
4. Calung Ketuk dan Calung Kenong terdiri dari 6 batang
5. Kendang
Lagu-lagunya antara lain Cindung Cina (Cik indung menta Caina), Kembang Lepang, Ilo ilo Gondang.
3. Calung Jingjing
Calung Jingjing adalah bentuk calung yang ditampilkan dengan
dijingjing/dibawa dengan tangan yang satu sedang tangan yang lainnya
memegang pemukul. Sangat digemari dibandingkan dengan bentuk
calung-calung lainnya, alatnya terdiri dari:
1. Calung Melodi mempunyai sepuluh nada s.d. 12 nada
2. Calung pengiring/akompanyemen terdiri dari 10 nada
3. Calung Jengglong terdiri dari 5 nada
4. Calung besar sebanyak dua batang/nada berfungsi sebagai kempul dan gong
MAK Enar (64) sudah duduk bersimpuh di panggung, menghadapi kecapi
berdawai tujuh. Di sebelah kanan duduk Mang Oman (55) memegang
tarawangsa (sejenis rebab, alat musik gesek berdawai dua). Sebelah kiri
Mak Enar, duduk Yana (42) dan Yayan (36), masing-masih sudah siaga untuk
memainkan calung rantay (alat musik dari bambu, mirip kolintang yang
dirangkaikan dengan areuy, sejenis tumbuhan merambat). Lampu panggung
meredup perlahan.
Beberapa saat kemudian, Mak Enar mulai memetik
kecapinya, disusul alun suara tarawangsa dan kelontang calung rantay,
mengiringi lagu "Bubuka”. Irama lagu yang lembut memenuhi relung sepi
auditorium Gedung Kesenian Tasikmalaya. Penonton memandang panggung,
pikiran dan perasaannya entah terbawa ke mana, diajak berkelana
rangkaian nada yang terdengar seakan dari dunia lain, di luar dunia
wadag tempat kita berlakon.
Usai lagu "Bubuka”, kemudian tersaji lagu "Ayun”, "Sejak”, dan
"Panyungsi”. Wirahmanya nyaris serupa, terdengar asing karena di luar
pakem irama diatonis atau pun pentatonis. Menurut beberapa ahli musik,
irama calung tarawangsa konon disebut laras lindu. Syair yang
dilantunkan Mak Enar pun tak begitu bisa dimengerti, berbahasa Sunda
buhun. Meski demikian, tak mengurangi nilai yang sampai ke pusaran rasa
kita. Calung tarawangsa, mempertemukan kembali rasa kesundaan manusia
kiwari dengan salah satu kekayaan dari keluhuran seni manusia Sunda
bihari.
Kepada penulis Mak Enar menyampaikan rasa bahagianya,
karena hingga saat ini kesenian calung tarawangsa kian banyak yang
mengundang untuk manggung. Meski tak setiap bulan, tapi grup calung
tarawangsa "Dangiang Budaya” tempatnya berkiprah sejak usia 20-an, sudah
melanglang ke beberapa kota di Jawa Barat.
"Pernah manggung di
Indramayu, Tasik, Jakarta, dan paling sering di Bandung. Beberapa kali
mentas ditonton oleh orang-orang sekolahan,” katanya sambil membetulkan
kerudungnya. Kalau tidak di gedung kesenian, grup calung tarawangsanya
main di kampus-kampus, katanya. Di kampungnya sendiri, Kampung
Cigelap, Desa Parung, Kecamatan. Cibalong, Kab. Tasikmalaya, yang
mengundang tak pernah suwung. Baik untuk menghibur di tempat pesta
pernikahan, atau pesta khitanan. Terutama, kata Mak Enar, di bulan Mulud
dan bulan Rewah. Malah, katanya, grupnya sering juga diundang untuk
menyembuhkan orang sakit. "Meski tak terlalu sering, tapi beberapa kali
kita diundang untuk mengobati orang sakit,” kata Yayan, nayaga termuda
di grup tersebut. Antara lain, kata Yayan, mengobati orang yang lumpuh,
buta, dan orang yang kesurupan.
Menurut Oman, calung tarawangsa
dipakai untuk terapi pengobatan sudah sejak dulu. Biasanya bila
penderita sudah tak bisa atau bukan untuk disembuhkan oleh dokter.
"Biasanya bila keluarga si sakit sudah bertanya kepada orang pintar.
Umpamanya kepada ajengan. Nah, ajengan itulah yang suka mendapat
‘petunjuk’. Biasanya dengan kalimat ‘oh, ieu mah kudu ku kai bengkung
ubarna’, atau, ‘ieu mah kudu meuncit kai’,” ujar Yana. Yang disebut "kai
bengkung” itu tiada lain adalah tarawangsa, karena demikianlah sebutan
orang kampung untuk waditra sejenis biola tersebut.
Menurut
Oman, ‘mentas’ di tempat orang sakit biasanya di malam hari. Dari mulai
pukul delapan malam sampai pukul dua subuh, sebagaimana kebiasaan bila
mentas di tempat hajatan. Mereka main langsung di sebelah orang yang
tengah sakit. Ada yang kemudian sembuh langsung dengan sekali main, ada
juga yang sampai tiga kali main baru terlihat si sakit berangsur sembuh.
"Alhamdulillah,
karena ijin Yang Maha Kuasa, si sakit biasanya biasanya bisa sembuh
kembali. Misalnya, yang buta bisa melihat kembali dengan normal,” kata
Oman. Bila mereka main untuk menyembuhkan orang sakit, kata Yana, mereka
tak pernah mematok harga. Niatnya karena Allah, ujarnya.
Mereka
sendiri pun tak mengarti mengapa suara calung tarawangsa bisa
menyembuhkan orang sakit. Mereka hanya bisa mengutip perkataan
orang-orang bahwa suara tarawangsa itu mempunyai aura gaib. "Kata
orang-orang tua, waditra tarawangsa dulu mulai sering dimainkan waktu
Prabu Siliwangi berkuasa di tatar Sunda. Sampai sekarang pun, baik saat
main di pesta hajatan atau untuk menyembuhkan orang sakit, kadang-kadang
ada orang yang melihat... eu... ya itulah... di kolong rumah atau di
halaman,” ujar Yana, sebagian kalimat yang diucapkannya diberi penekanan
gerak tangan. Yang ia maksud adalah, kadang-kadang ada orang yang
melihat maung kajajaden (harimau jejadian), ikut menikmati suara
tarawangsa. Dalam kultur masyarakat Sunda tradisional, ada kepercayaan
bahwa Prabu Siliwangi hingga sekarang masih hidup, dan kadang-kadang
menampakkan dirinya dalam wujud seekor harimau.
"Tapi, ya nggak
pernah mengganggu,” kata Oman. Orang kampung yang mengundang juga sudah
sama-sama faham, bahwa bila mengundang tarawangsa , akan datang juga
"makhluk lain” yang ikut menyimak. Tapi, tentu saja tak setiap orang
bisa melihat makhluk tersebut, hanya orang-orang tertentu saja. Satu
atau dua orang.
Oman sangat percaya akan hal itu. Apalagi ia
sendiri yang membuat alat musik tarawangsa yang biasa dimainkannya.
Katanya, selalu ada rasa yang berbeda bila sebuah tarawangsa sudah layak
untuk dibawa manggung. Bunyi dari gesekan dawainya akan terasa lain,
seperti ada getar yang mampu menentramkan hati. Demikianlah, sebelum
bunyi tarawangsanya belum ‘benar-benar menyentuh rasa’ ia akan terus
membetulkannya hingga suaranya terdengar ‘sempurna’.
Oman sendiri
membuat tarawangsa tidak hanya untuk dimainkan dirinya sendiri, tapi
juga bila ada orang lain yang memesan. Satu buah tarawangsa biasanya
dijual 250 ribu rupiah.
Semua bahan untuk membuat tarawangsa
maupun waditra lain dalam seni calung tarawangsa menurutnya didapatkan
di sekitar kampung. Bahan-bahan yang bisa dicari dengan mudah tanpa
harus membeli. Seperti dawai untuk kecapi maupun tarawangsa biasanya
memakai kawat baja bekas kawat kopling. Untuk alat menggesek tarawangsa
memakai ijuk. Dan tali perangkai potongan bambu untuk calung, dibuat
dari ‘areuy geweng’ sejening tumbuhan merambat di hutan yang liat dan
kuat.
Kini Oman dan yang lainnya di grup calung tarawangsa
"Dangiang Budaya”, sedang berusaha melatih anak-anak muda di kampungnya
untuk regenerasi. "Insya Allah, kesenian calung tarawangsa akan selalu
ada dan tak akan punah,” kata Yayan, optimis.*
Nazaruddin
Azhar. Tulisan ini pernah dimuat harian umum Priangan (memakai nama Abu
Jovin :)), dan diposting beberapa rekan di beberapa blog. Foto atas:
Mang Oman sedang menggesek tarawangsa bikinannya. Foto oleh Nazaruddin
Azhar. Semoga bermanfaat. sumber